Prinsip itikad baik yang mutlak telah lama menjadi landasan utama kontrak asuransi, yang mewajibkan pemegang polis untuk memberikan pengungkapan yang jujur dan lengkap. Prinsip ini memberdayakan penanggung untuk menilai risiko secara akurat dan menerbitkan polis. Secara historis, Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia (KUHD) telah diinterpretasikan sebagai dasar bagi penanggung untuk secara sepihak membatalkan polis.
Pasal 251 KUHD berbunyi:
“Setiap pernyataan yang tidak akurat atau palsu, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukan dengan itikad baik, yang akan menyebabkan penanggung tidak akan memasuki perjanjian, atau tidak akan memasuki perjanjian dengan syarat yang sama, jika mereka mengetahui fakta yang sebenarnya, menjadikan kontrak asuransi batal.”
Ketentuan ini, yang tidak mensyaratkan adanya niat buruk, telah memungkinkan perusahaan asuransi untuk membatalkan polis persetujuan bersama ataupun upaya hukum lainnya.
Pada tanggal 20 Desember 2024, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan bersejarah dalam Putusan No. 83/PUU-XXII/2024, yang sebagian mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemegang polis. Mahkamah menemukan Pasal 251 KUHD secara kondisional bertentangan dengan konstitusi, dengan menyatakan bahwa ketentuan tersebut sah “sejauh tidak diartikan bahwa pembatalan pertanggungan asuransi harus didasarkan pada kesepakatan bersama antara penanggung dan tertanggung, atau putusan pengadilan.”
Pertimbangan hukum majelis menyoroti beberapa poin penting:
- Kontrak asuransi umumnya merupakan perjanjian standar di mana pemegang polis berada dalam posisi tawar yang lebih lemah.
- Tidak semua pernyataan yang salah merupakan tindakan curang. Kesalahan yang dilakukan tanpa niat curang tidak seharusnya secara otomatis menyebabkan kontrak menjadi batal.
- Mekanisme yang adil dan layak, seperti persetujuan bersama atau putusan pengadilan, diperlukan untuk menyelesaikan sengketa semacam ini.
Keputusan ini mengharuskan penanggung untuk mengevaluasi kembali praktiknya, termasuk klausul polis terkait pembatalan, prosedur klaim internal, dan pelatihan agen. Meskipun demikian, penanggung (perusahaan asuransi) tetap berhak menolak klaim yang curang, hal ini harus dilakukan dalam kerangka hukum yang terstruktur yang menjamin proses yang adil dan melindungi konsumen dari keputusan sewenang-wenang. Putusan Mahkamah Konstitusi menandai pergeseran penting menuju transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar di sektor asuransi Indonesia.
